What if

What if


"Papiii ini yang ijo ijo aku nggak habis..."

"Dimakan dong, Abang. Kan abang katanya mau kayak papa badannya gede gitu?"

"Nanti kalo gede abang nakal kayak papa gimana?"

"Ya enggak, dong. Anak papi masak mau nakal, sih?"

"Pi, tapi nanti biar nggak nakal kata oma harus minum susu."

"Oh! Iya! Bener banget. Biar gak nakal habis ini minum susu ya, Bang?!"

"Oke, Papi!"

Suara-suara gaduh kecil di dapur mau tidak mau mengganggu tidur Lucas yang baru saja dimulai hampir jam empat subuh tadi. Ia baru benar-benar sepenuhnya sadar saat mendengar deru mesin mobil menjauhi rumahnya dan suara pagar tertutup. Anaknya pasti sudah berangkat sekolah.

Ternyata benar, tidak sampai lima menit kemudian, Renjun memasuki kamar mereka untuk bersiap pergi ke head office brand organic food miliknya yang ia rintis sejak dua tahun belakangan ini.

"Kak? Udah bangun?" tanyanya saat melihat Lucas memainkan handphone di tangan kirinya sambil bersandar di headboard.

"Iya, nih. Tadi denger si Abang nyanyi-nyanyi."

Renjun terkekeh samar. Mengingat anaknya yang amat lucu.

Lucas memperhatikan Renjun yang sedang mengutak-atik handphone-nya di meja rias.

"Handphone-nya kenapa, hon?"

"Kayaknya simcard-nya nggak kebaca deh, nanti aku mau ke service center buat nanyain kenapa. Kalo harus diservis yaudah aku pakai hape lamaku aja,"

"Ooh.." kata Lucas sambil mengangguk-angguk.

"Oh, iya, hon! Kita jadi loh hari Minggu ke Singapore. Acaranya di Raffles Center jam 6 sore. Kemungkinan sampai jam 9 atau 10, sih. Abang mau tetep diajak?"

"Kayaknya iya deh. Aku gak tega mau nitip dia ke Mama. Nanti kalo dia ngantuk atau grumpy, aku sama dia balik dulu aja, deh. Lagian kita nginepnya di Fullerton, kan? Jadi gak terlalu jauh."

"Oke deh gitu aja."

"Kak, nanti jemput Abang bisa kan? Dia selesai jam 10 biasanya. Ajakin nanny aja waktu jemput, biar kalo dia rewel kamu nggak kerepotan."

"Okay, siap! Aku udah lama banget nggak jemput si Abang."


Renjun duduk menghadap layar empat belas inchi di hadapannya dengan cukup serius. Memantau beberapa barang yang selama seminggu ini keluar masuk gudang, sedikit terlambat dari waktu biasanya karena ia baru tiba di kantornya setengah jam yang lalu. Memang hari kamis adalah hari di mana Renjun harus mengecek laporan dari tim procurement dan memastikan warehouse menerima barang itu dengan baik. Lalu pada hari Jumatnya, Renjun akan mengecek laporan dari tim sales dan finansial. Begitulah kesehariannya setelah memiliki brand organic food ini. Cukup sibuk memang, tapi setidaknya dia masih bisa mengantar jemput anak angkatnya dan Lucas, serta selalu ada ketika suaminya pulang ke rumah. What a simple life!

Konsentrasinya sedikit buyar ketika dering handphone-nya menginterupsi, nama Lucas terpampang di sana. Apa mungkin Lucas kesulitan membawa Abang pulang? Tapi seingatnya ia sudah meminta Lucas datang bersama pengasuh si Abang agar tidak merepotkannya.

"Renjun!" suara Lucas di ujung telepon terdengar panik. Sangat panik bahkan.

"Kenapa, Kak?"

"Si Abang nggak ada di sekolah, Jun. Kamu jemput dia, ya?"

"Hah? Eng-engga, Kak. Aku baru aja sampai kantor bahkan. Baru mulai ngerjain task."

"Jun ini dia nggak ada, Jun. Bahkan gurunya bilang kalau dia gak datang pagi ini."

"Hah? Gimana..." Renjun sudah hampir menangis hingga dia harus menarik nafasnya pelan lalu mengembuskannya; sesuai instruksi seseorang bertahun silam ketika dia mulai panik.

"Guru sekolahnya bilang kalau ada yang hubungin mereka tadi. Bukan nomor kamu, tapi dia bilang katanya si Abang nggak bisa datang sekolah."

"Ya Tuhan, Kak. Ini gimana? Tadi pagi kan aku bilang kalau SIMcard-ku nggak bisa kepakai. Jadi nggak mungkin itu aku, Kak." Renjun menyerah, ia akhirnya menangis.

"Kamu coba hubungi mama deh, siapa tau dia jemput Abang tanpa ngasih tau kamu."

"Ya nggak mungkin lah, Kak. Mama nggak akan jemput Abang dadakan begini..."

"Jun, jujur aku bingung harus apa..." Lucas terdengar sangat pasrah di ujung sana.

Untuk sementara mereka tidak berbicara dan hanya terdengar Renjun yang mulai terisak. Lucas masih juga berpikir tentang berbagai kemungkinan perihal hilangnya anak angkat mereka.

"Jun, aku coba hubungi Mas Kun, ya? Siapa tahu dia bisa bantu."

"Iya, iya, iya, Kak. Mungkin hubungin polisi lewat belakang bisa lebih cepet."

"Tenang, Jun. Kamu nggak usah panik, ini aku mau coba hubungin lagi nomor yang tadi SMS gurunya si Abang."

"Kirim ke aku, Kak. Biar aku coba hubungin."

"Iya, tunggu ya, Jun. Aku sambil hubungin Mas Kun juga. Nanti aku kabarin gimana. Yang jelas kita nggak boleh terlalu panik dan gegabah."

Terdengar Renjun mengembuskan napasnya gusar lalu berkata, "iya, Kak. Kakak juga jangan panik."


Renjun masih gusar karena ini sudah memasuki hari Jumat pukul 12 siang dan masih belum ada kabar tentang si Abang. Polisi sudah mulai bergerak mencari bukti-bukti yang mengarah ke tersangka. Menginterogasi saksi-saksi yang mungkin bisa membantu. Termasuk Renjun dan Lucas yang terakhir berada di rumah bersama Abang, sopir antar-jemput yang terakhir kali menurunkan Abang di depan gerbang sekolahnya pukul 7.30 pagi, hingga guru pre-school yang kali pertama menerima pesan dari seseorang yang mengaku Renjun itu.

Renjun bahkan sudah terduduk lemas bersandar pada Lucas di selasar kantor polisi. Berusaha menahan tangisnya yang bisa meledak kapan saja. Walaupun Abang adalah anak angkat mereka, Renjun merasa bahwa ia sudah terikat dengan anak laki-laki lucu itu. Bagaimana mungkin anak manis yang terakhir masih merengek meminta dibuatkan es krim melon sebelum berangkat sekolah itu, saat ini bahkan tidak jelas ada di mana.

"Cas," sapaan dari seseorang bersuara familiar mengagetkan mereka.

"Gimana, Mas?"

"Sejauh ini semua saksi masih belum bisa dinaikkan statusnya jadi tersangka. Cuma masih harus ada investigas lagi sama sopir antar-jemput anak kalian. Jadi kita akan menahan dia di sini sampai besok, mungkin."

Renjun menggeleng tidak percaya. Sedikit menyesal bahwa ia terlalu mempercayakan anaknya pada seseorang sebesar itu.

"Oke, Mas. Makasih banyak ya atas bantuannya. Aku sama Renjun tolong dihubungin kalo ada perkembangan." kata Lucas sambil berusaha tersenyum ke arah Mas Kun yang sudah banyak membantunya selama satu hari terakhir.

Dengan menuntun Renjun yang terlihat sangat lemas, mereka berjalan menuju mobil. Ketika sampai di mobil, handphone Lucas berbunyi nyaring menampilkan nama "Yangyang" di layar benda pipih itu.

"Halo, Yang?"

"Kak, sorry ya gue tau gue ngehubungin di saat yang nggak tepat."

"Iya, Yang. Soal kerjaan, ya? Ada apa?"

"Kak gue udah coba kontak orang Rolex, jelasin keadaan lo sama Renjun kayak gimana, tapi mereka tetep nggak mau ngerti. Gue--"

"Yang, ini gue Renjun..." handphone Lucas sudah berpindah tangan ke Renjun ketika Yangyang belum selesai menjelaskan.

"Jun, sorry, gue--"

"Mereka ada request tambahan nggak? Kalo emang masih sesuai sama kontrak yang kemarin, jangan dibatalin, Yang. Kan honornya juga udah dikasih. Nggak apa-apa, kita dateng aja."

"Jun, tapi si Abang belum ketemu..."

"Iya, Yang. Tapi tetep aja kan Kak Lucas dan gue harus profesional. Ini brand gede, nggak mungkin juga kita sanggup bayar denda kalo kita batalin kerja samanya."
Lucas mendengus ketika mendengar perkataan Renjun. Suaminya ini terlalu terbiasa mengesampingkan perasaannya.

"Tapi beneran kalian nggak apa-apa?" suara Yangyang melirih di ujung telepon.

"Iya. We're good. Tolong Yang hubungin mereka lagi aja."

Lucas menatap Renjun ragu, sementara Renjun malah mengusap bahu Lucas untuk menenangkan. Sorot matanya juga menunjukkan jika semua akan baik-baik saja.


Hari Jumat bagi Jeno adalah hari paling santai. Saat berada di Vancouver, hari Jumat adalah day-off baginya sebelum kembali bekerja di hari Sabtu dan libur kembali di hari Minggu. Sementara setelah pindah ke Seattle, ia masuk kerja, sih, di hari Jumat, tetapi hanya untuk olahraga dan menjalani konsultasi ringan dengan psikolog eksternal yang selalu diundang oleh perusahaan teknologi besar tempat ia bekerja.

Tidak berbeda jauh saat ia berada di Surabaya. Hari Jumat pagi, ia akan rela berlari lebih jauh dari rumahnya di sisi paling timur Surabaya ke area dekat kampus lamanya dulu untuk menikmati sarapan bubur favoritnya sejak kuliah. Lalu siangnya, ia akan menghabiskan waktu bersama makhluk berbulu peliharaan keluarganya. Menjelang sore, ia akan pergi ke salon mobil milik sepupunya untuk membicarakan hal-hal yang tidak jauh dari mobil balap, dua belas silinder, off-road, dan lelucon modifikasi-modifikasi konyol yang dilontarkan saudara sepupunya.

"Jen, kamu nggak kepingin ketemu sama mantan pacarmu itu, ta?" itu Mas Ten, teman sepupu Jeno yang setelah bertahun-tahun masih hobi menyinggung tentang sosok 'mantan pacar' Jeno.

"Pacar apane, Pon! Dia tuh gak pernah pacaran, yang ada malah ditinggal nikah!" Taeyong, kakak sepupu Jeno, menambahkan olok-olokan ke adik sepupnya sebelum menyemburkan tawanya.

"Wes a? Wes a? Gak inget umur, ta? Kalian tuh bentar lagi 35 masak bercandaannya masih montan mantan ae!" Jeno mendengus kesal sambil membuka aplikasi Twitter di handphone-nya.

"Kejar, Jen! Jaman sekarang pelakor di mana-mana lho. Masak kamu nggak terinspirasi?" Mas Ten masih melanjutkan racauannya sambil memainkan game konsol di handphone flagship dua puluh juta miliknya.

"Heh! Sembarangan kon ya, Pon! Adekku masio gak laku-laku gini gak akan tak bolehin ya jadi pelakor. Dikuliahin jauh-jauh ke Amerika pulangnya masak ngerebut suami orang?!" Taeyong membalas perkataan Ten.

"Wes ah, gak usah dibahas. Gak mood aku."

Keduanya yang menyadari perubahan air muka Jeno mulai kembali dengan kesibukan masing-masing. Ten memainkan game konsolnya, sementara Taeyong membereskan neraca keuangan salon mobil miliknya.

Jeno diam-diam merasa perkataan Ten memengaruhinya. Butkinya, kini ia sudah membuka akun twitter lamanya. Membuka tab profil, menggeser layarnya ke atas untuk membaca cuitan bertahun-tahun silam. Cuitan non-sense yang dibalas dengan sama non-sense-nya oleh Renjun sukses membuatnya tersenyum singkat.

Dengan sedikit rasa gengsi dan 80% rasa penasaran, Jeno memberanikan diri untuk membuka profil twitter lama milik Renjun.

Jeno terkejut kala mendapati baru sekian jam lalu Renjun memposting sesuatu di akun twitter tersebut. Sebuah tweet permintaan tolong dengan tagar yang sempat viral pada masanya, meskipun sering juga disalahgunakan, #TwitterDoYourMagic.

Jeno berusaha meresapi kata demi kata yang ia yakini ditulis oleh Renjun. Ia hampir tersedak ludahnya sendiri ketika tahu apa yang ternyata berusaha Renjun sampaikan dari tweet tersebut. Ia ingin mencari anaknya. Anaknya.

Entah mengapa pikiran Jeno menjadi amat kalut. Semua hal terasa aneh baginya ketika tanpa pamit, ia meninggalkan salon mobil milik Taeyong dan memacu mobilnya membelah padatnya Surabaya di hari Jumat sore. Dari ujung paling barat ke ujung paling timur.


Jeno segera menyiapkan peralatan 'tempur'-nya. Dua buah laptop berbeda fungsi, dua monitor dua puluh satu inchi serta peripheral lain yang biasa ia gunakan untuk hal-hal seperti ini. Berbekal cuitan seratus lima puluh kata dari Renjun serta screenshot percakapan seseorang yang mengaku menjadi Renjun dengan orang lain yang ia yakini adalah guru dari anak Renjun, ia memulai pencariannya.

Ia memasukkan nomor telepon itu di mesin pencari. Nihil. Tidak ada hasil berarti.

Kembali ia meneliti pola nomor tersebut, 'nomor lama,' batin Jeno.

Ia kini melakukan sesuatu yang cukup ekstrem. Membuka data kepndudukan. Yang Demi Tuhan, jika orang lain tahu, maka besok bisa dipastikan Jeno akan mendekam di penjara selama dua tahun.

Katakan Jeno bodoh, all the things they do for love.

Dua puluh menit kemudian, hasil retrieval data dari database kependudukan yang amat sangat berantakan itu muncul. Dan nihil, tidak ada satupun tupel yang cocok dengan nomor handphone tersebut.

Jeno kembali bergerak menyelinap masuk dan membuka database-database lain dengan cukup hati-hati dan secepat yang ia bisa, tapi nihil, tidak ada satupun yang cocok dengan nomor yang menjadi satu-satunya bekal miliknya saat ini.

Jeno hampir putus asa jika tidak mengingat bahwa ia adalah seorang pegawai perusahaan teknologi besar di Benua Amerika. Berbekal rapalan doa kepada Tuhan, ia membuka database yang amat riskan untuk dibuka.

Database berisi log pelanggan telekomunikasi seluruh dunia, yang diam-diam dipantau oleh tempat ia bekerja berbekal autorisasi terbatas dari Kementerian Pertahanan Amerika. Dan beruntung, Jeno adalah orang yang tepat.

Perlu waktu sekitar lima jam untuk mencocokkan nomor yang ia punya dengan data histori serta log penggunaannya dari seluruh dunia tersebut. Saat jam menunjukkan pukul dua pagi lebih dua puluh tiga menit, Jeno akhirnya menemukan log terbaru dari nomor tersebut.

Masih di Jakarta.

"Seenggaknya mereka nggak terlalu sulit untuk dijangkau." batin Jeno sambil berpikir langkah apa yang akan ia lakukan untuk memberi tahu Renjun akan titik terang keberadaan anaknya.


Jam telah menunjukkan pukul 3 sore di hari Sabtu, itu berarti sudah hampir dua puluh empat jam Jeno bergerak sendiri untuk mencari keberadaan anak Renjun. Yeah, bahkan ia membantu Renjun menemukan anaknya, anak Renjun dan suaminya. Jeno terkekeh getir menyadari apa yang ia lakukan ini sangat bodoh untuk ukuran manusia berusia hampir tiga puluh tahun. Tapi memang benar kata orang, falling in love may cause stupidity.

Selepas Jeno mengambil secangkir kopi hitam dari dapur, ia kembali menekuri jutaan baris data yang akrab bersamanya sejak bertahun-tahun. Dengan penuh harapan, ia mengetikkan kembali query sederhana untuk mencari log terbaru dari nomor penculik anak Renjun.

Sepertinya Tuhan memang sedang berbaik hati pada Jeno, permintaanya terjawab. Jeno menemukan log terakhir dari si pemilik nomor telepon ini sedang berada di bandara. Cengkareng. Sekian puluh kilometer di sisi barat Jakarta.

Jujur, Jeno sedikit takut. Mengingat kemungkinan bahwa si pemilik nomor yang ia yakini adalah penculik anak Renjun ini akan benar-benar keluar negeri. Akan semakin sulit menemukan anak Renjun. Jika hukum ekstradisi Indonesia saja masih sangat lemah.

Jeno sangat mencemaskan hal itu, semakin cemas kala menyadari mungkin si penculik akan bertindak kejam seperti memasukkan anak ini ke dalam tas atau bagasi, atau bahkan menyelundupkannya tanpa sepengetahuan petugas. Karena tentu saja si penculik tidak akan mungkin membawa anak ini bersamanya tanpa paspor, kan?

Jeno masih berkutat pada layar laptopnya ketika pukul 4 ia menemukan log terbaru dari nomor ini. Ia cukup bodoh karena membiarkan nomornya tercatat pada web milik provider.

"Try harder, dummy." kata Jeno sambil menyeringai puas. Membuka aplikasi booking tiket andalannya untuk memesan penerbangan ke Singapura malam ini juga.


Dua jam perjalanan cukup menegangkan untuk Jeno. Tidak biasanya ia akan gugup ketika melewati pemeriksaan di bandara. Namun, hari ini berbeda. Dua tas besar yang dibawanya berisi barang-barang yang cukup questionable bagi petugas. Dua laptop dengan spesifikasi tinggi. Beruntung mereka begitu saja mempercayai ketika Jeno berdalih ia memiliki sedikit urusan dengan cabang Singapura. Tentu lebih percaya ketika ia menyodorkan kartu pegawai miliknya. As easy as that.

Hampir tengah malam ketika taksi yang membawanya dari sisi timur Pulau Singapura sampai di pusat kota. Membuat Jeno merasa sedikit nostalgic dengan paradoks negara kecil ini. Ia terkekeh ringan, mengingat janjinya untuk Renjun bertahun-tahun lalu. Janji yang dipercayai oleh si polos itu. Mengajaknya tinggal bersama di Singapura karena mereka berdua merasa negara ini sangat nyaman, semudah itu.

Ia memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang menerpanya di ketinggian lantai 10 Pan Pacific. Bar outdoor yang mulai sepi menjadi tujuannya kali ini. Meneguk sedikit cocktail racikan barista yang ia harap membantunya berpikir jernih. Berharap esok hari menemui titik terang, tentang apakah intuisi tanpa perhitungan yang ia lakukan sejak kemarin ini absah?

Jika ditelaah kembali, hal tidak masuk akal ini sangat bukan Jeno. Diawali Jumat sore yang kacau kala ia pergi begitu saja dari salon milik Taeyong, membiarkan dirinya tidak tidur hampir dua puluh jam demi melacak keberadaan nomor yang sialnya tidak bertuan itu, kemudian memupuk rasa bangga ketika akhirnya menemukan jejak nomor itu, dan berakhir merasa bodoh karena mengikuti intuisinya untuk sampai di Singapura mencari keberadaan orang yang tidak ia tahu sama sekali. Dan lebih bodohnya, ia melakukan hal itu demi seseorang. Renjun.

Jeno bergegas menegak habis isi gelasnya ketika melirik arloji mahal di tangan kanannya dan waktu telah menunjukkan pukul 2 pagi. Ia harus segera tidur agar tak kehilangan jejak bajingan ini.


Intuisi dan Jeno tentu tidak pernah berjalan beriringan dalam satu ruang dan waktu. Selama masa studinya, ia tak pernah membiarkan intuisi menguasainya. Ia lebih memilih mengacu pada pikiran sadar kala mengambil keputusan, tetapi hari ini ia mengakui harus kalah dari si sialan bernama intuisi itu.

Pukul 6 pagi, ia terbangun dengan sakit kepala yang untungnya mampu reda setelah ia menenggak secangkir kopi pahit, teman berjuangnya selama hampir sepuluh tahun ke belakang. Ia bergegas mandi dan berpakaian pantas, tentu berjaga agar tidak perlu kerepotan berganti pakaian ketika targetnya telah ia kunci. Entah mengapa ia semakin yakin jika targetnya itu semakin dekat, buktinya ia kembali menyiapkan alat-alat dan keperluannya untuk mencari si kutu kecil yang ia yakini membawa lari anak tidak berdosa sejauh ini.

Sesungguhnya ia tidak yakin, apa yang diinginkan orang ini hingga membawa lari anak tidak berdosa? Bukankah lebih menguntungkan membawa lari Renjun saja? Um, mungkin jika Jeno berada di posisi bedebah itu, ia akan menggunakan opsi kedua, sih.

Cukup lama ia mendapatkan hasil terbaru untuk melacak transaksi bahan barunya kali ini. Transaksi kartu kredit. Karena tentu saja ini lebih mudah, dan juga lebih riskan untuk dilakukan. Salahkan Renjun jika setelah ini Jeno harus mendekam sepuluh tahun di penjara dan menjadi gelandangan setelah bebas.

Ketika progress bar menunjukkan angka 100%, hati Jeno seakan lepas dari posisinya. Satu transaksi kartu kredit terjadi pagi ini. Pukul 8 lewat 23 menit. Seseorang melakukan transaksi dengan nomor kartu kredit tersebut. Dan beruntungnya, tak jauh dari lokasi Jeno saat ini. Hanya perlu menumpang taksi kurang dari lima menit, maka ia akan sampai di tempat tujuan semua orang itu. Marina Bay Hotel.

Hati Jeno merasa penuh ketika kakinya berhasil menapaki lift yang akan membawanya ke lantai teratas hotel iconic ini. Dia seolah tidak sabar menantikan sesuatu. Entah apapun itu, berbagai spekulasi muncul di kepalanya. Apakah ia akan menyeret si bajingan ini untuk berlutut di hadapan Renjun? Membiarkannya bebas tapi yang terpenting membawa anak Renjun ke hadapannya dengan selamat? Atau bahkan yang paling ekstrem, melemparkan si bajingan ini dari lantai atas dan membawa anak Renjun pulang dengan selamat?

Entahlah, yang ia tahu sekarang, euforia menguasainya karena ia tak sabar membuktikan bahwa ia akan selalu menjadi problem solver dari masalah-masalah Renjun. Membuktikan bahwa ia menepati janjinya untuk selalu mengulurkan tangannya untuk laki-laki favoritnya itu.

Keadaan restoran di lantai paling atas ini cukup lengang, hanya ada satu dua pelayan yang berlalu lalang serta beberapa pengunjung yang didominasi ras kulit putih. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru restoran, tapi tidak menemukan sosok yang menurutnya patut dicurigai karena sebagian besar dari mereka tidak membawa serta sosok anak kecil.

Ia melangkah keluar dari bagian indoor. Membuka pintu kaca geser yang menghubungkan ke restoran area outdoor. Berjalan pelan melewati beberapa meja kosong, untuk menemukan dua orang yang sedang duduk di bangku beledu merah dengan penopang kayu coklat rendah. Mereka berdua membelakanginya. Satu orang dewasa berambut abu-abu muda, dan satu orang anak laki-laki yang ia taksir berusia empat tahun seumur anak Taeyong.

Ia, dengan perasaan sangat gugup mendekati dua orang yang sedang asyik menyantap dua menu sarapan berbeda itu.

Semakin dekat, semakin jelas pula ia mendengar suara yang sangat ia rindukan.

Suara yang sama, sejak terakhir kali mereka bertemu tujuh tahun silam.

Tenggorokannya tercekat kala si rambut abu-abu menoleh menyadari eksistensinya yang semakin mendekat.


Tersenyum ke arahnya lalu berkata, "Hi! It's been a while! Kamu lama banget, sih?"


Itu Renjun.


Renjun.


Renjun yang sama dengan seseorang yang ia tinggalkan tujuh tahun silam.

Dengan seseorang yang ia yakini adalah anaknya.


Ia menggelengkan kepalanya frustrasi. Semoga asumsinya salah.


"Don't you say that...." Jeno berusaha mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya.


"Mm-hm... I did that, Jeno." katanya dengan senyum manis yang masih sama.

Report Page