πŸ…–πŸ…”πŸ…πŸ…”πŸ…‘πŸ…πŸ…£πŸ…˜πŸ…₯πŸ…” πŸ…›πŸ…˜πŸ…’πŸ…£πŸ…”πŸ…πŸ…˜πŸ…πŸ…–

πŸ…–πŸ…”πŸ…πŸ…”πŸ…‘πŸ…πŸ…£πŸ…˜πŸ…₯πŸ…” πŸ…›πŸ…˜πŸ…’πŸ…£πŸ…”πŸ…πŸ…˜πŸ…πŸ…–

Ki Aji Pratama

β€œYou listen not only for what someone knows, but for what he or she is. Ears operate at the speed of sound, which is far slower than the speed of light, which the eyes take in. Generative listening is the art of developing deeper silences in yourself, so you can slow your mind’s hearing to your ears’ natural speed and hear beneath the words to their meaning.” - Peter Senge

Sering saya terpaku pada kata-kata yang saya dengarkan dari klien saya, sedangkan menurut Peter Senge; mendengarkan yang sesungguhnya terjadi pada jeda di antara kata-kata, dimana pada jeda itu seluruh kata telah lengkap disampaikan dengan kecepatan suara yang relatif lebih lambat dibanding kecepatan pikir kita yang serupa kecepatan cahaya.

Menghayati jeda dan menikmati momen heningnya untuk mengendapkan makna setiap kata dalam konsep generative listening justru merupakan inti dari proses mendengarkan sesungguhnya.

Momen hening ini dalam bahasa retoris dinamakan place of grace di mana terhadirkannya keterhubungan yang inspiratif, generatif, reflektif, hingga transformatif. Seperti halnya saat saya memandang wajah bayi saya yang baru lahir, menikmati tangis pertamanya, jeda hening di antara damai tidurnya; inspirasi tertumpah di momen ini bak air bah tiada usainya.

Sering kita menggunakan logika dalam menginterpretasi kata-kata yang kita terima, atau berusaha ber-empati untuk memahami perasaan orang yang berada di hadapan kita, atau menyesuaikan bahasa tubuh dengan harapan tersesuaikannya irama resonansinya... Namun nyatanya hal-hal itu merupakan upaya yang interventif (jika tidak mau disebut manipulatif. Manipulatif di sini dalam artian yang netral dan tidak tendensius) yang sedikit banyak justru berdampak kontra-produktif dan mungkin mengurangi kualitas dari proses mendengarkan tersebut.

Seperti halnya saat menggendong bayi yang dinanti 9 bulan kelahirannya, tiada upaya untuk menikmatinya, hanya hadir apa adanya, tanpa perlu memahami melalui logika, emosi, ataupun geraknya, seluruhnya kita terima, bila si bayi buang air kecil bahkan buang air besar di pangkuan kita pun, kita tetap menerimanya dengan penuh rasa cinta kasih sebagai kejutan yang menyenangkan.

Terdengar klise? Mungkin... Konsep seperti 'tanpa upaya', 'menerima sepenuhnya', 'tanpa tersandera logika', 'tanpa terhanyut emosi', 'tanpa merekayasa raga' adalah konsep yang mungkin hanya berlaku di situasi tertentu dan stimulusnya berasal dari luar (seperti karena bayinya bayi kita). Namun yang menurut saya yang menjadikan konsep itu unik adalah pemahaman akan paradoks bilamana saya menerima bahwa saya 'tak mampu mencerna kata-katanya', 'tak mampu memahami perasaannya', 'tak mampu berperan selayaknya seorang coach', 'tak mampu fokus mendengarkan sepenuhnya', 'tak mampu sadar penuh hadir utuh' adalah esensi dari generative listening

Seperti kata seseorang yang telah mengalami (mungkin tidak relevan bagi kita); "...menerima ketidaksempurnaan adalah bentuk kesempurnaan yang baru". Berdamai menyadari diri yang tidak sempurna, melepaskan diri dari ekspektasi akan sebuah kompetensi, simulasi, sesi, prestasi, atau akreditasi, adalah ruang jeda latihan tiada henti menuju keparipurnaan yang juga paradoks.

Mungkin...

Report Page