Berhak Kah Aku Merasa Kebahagiaan?

Berhak Kah Aku Merasa Kebahagiaan?


Srett…

 

Pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang dokter yang terlihat lelah dan berkeringat. “Permisi, keluarga Nyonya Rae?” ucap dokter tersebut kepada beberapa orang yang sedang duduk di ruang tunggu dengan keadaan cemas.

 

“Ah iya benar, saya suaminya,” ujar seorang pria seraya berdiri dari posisi duduknya. “Bagaimana keadaan istri saya dok?” lanjut pria itu, mencoba memberi senyuman penuh dengan harapan dan kekhawatiran sekaligus.

 

Huuftt..

 

Satu hembusan nafas berhasil lolos dari mulut dokter itu. Ia menatap pria itu lalu berkata, “Keadaan istri anda tadi sudah membaik, tetapi keadaanya drop seketika. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun..“ Kata-kata dokter tersebut terjeda karena ia melihat sorot mata sang suami berubah penuh getir. “Namun istri anda sudah kembali bersama yang diatas.”

 

Deg..

 

Runtuh semua harapan sang suami itu. Ia berdiri tercekat, mencoba untuk mencerna perkataan dokter itu dengan benar. Tak lama kemudian, tetesan air mata mulai mengalir satu per satu dan membasahi mukanya.

 

…………..

 

25 tahun kemudian..

 

“Terima kasih.” Ucap seorang pria kepada pelayan toko. Ia mengangkat barang belanjaannya lalu ia berjalan keluar dari toko dan berjalan ke tempat dimana mobilnya terparkir.

 

Brughh

 

Sebelum sampai tujuan, pria itu menabrak seseorang. Saking lelahnya dia hari ini, ia sampai tidak fokus berjalan. “Aduh, maaf tante!” Pria itu cepat-cepat membantu berdiri wanita lansia yang tak sengaja ia tabrak. “Ada yang terluka tidak tante?” Tanya pria itu sambil memastikan ada luka atau tidak pada wanita itu.

 

“Tante tidak kenapa-napa kok, Nak. Tidak usah khawatir.” Balas wanita itu.

 

“Kalau anda kenapa-napa, anda bisa hubungi saya..” Pria itu beralih untuk mengambil sebuah kartu nama di kantong dalam jasnya. “Ini kartu nama saya, dan nomor telfon saya sudah tertera disana.” Ucapnya sembari mengulurkan kartu namanya.

 

“Hahaha… Saya beneran tidak apa-apa, Nak. Lebih baik anda lanjutkan aktivitas anda dari pada mengkhawatirkan saya.” Sahut wanita itu, namun ia tetap menerima kartu nama yang terulur untuknya.

 

“Ah baik kalo begitu, saya permisi. Maaf sekali lagi.” Ujar pria itu lalu membungkuk kepada lansia itu. Setelah dapat jawaban kembali, ia langsung beralih untuk mencari mobilnya dan langsung mengendarainya pulang.

 

Pria ini dikenal sebagai pria yang sangat ramah dan sangat peduli terhadap orang-orang disekitarnya. Ia juga sosok yang tegas, namun ia juga selalu menjaga perasaan orang lain. Ia selalu mencoba untuk tidak membenci orang lain. Sangat sedikit orang lain yang ia benci, bahkan mungkin tidak ada. Tetapi ada satu sosok yang ia sangat benci dan mungkin tidak akan pernah ia maafkan, yaitu dirinya sendiri.

 

…………..

 

Setelah sampai rumah, pria itu langsung hendak masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Tapi sebelum ia buka pintu kamarnya, ada yang memanggilnya.

 

“KHAI!” Teriak seorang perempuan mendekati pria itu yang dikenal sebagai Khai Watson.

 

“Kenapa kak?” Ujar Khai mengalihkan perhatiannya kepada kakak perempuannya, Celene Watson.

 

“Kamu liat hp kakak ga?” Balas Celene. “Kakak cariin dari tadi ga ketemu-temu.”

 

“Gatau, kan aku barusan pulang kak.” Ujar Khai dengan nada bingung. “Kalau hilang kenapa ga di telpon aja?” Usul Khai.

 

“Kan ga ada orang dirumah dari tadi. Gimana sih.” Elak Celene lalu menjulurkan tangannya kepada Khai. “Sini kakak pinjem hpmu.”

 

Khai memutar bola mata malas lalu memberikan hpnya kepada kakaknya. “Nih, cepetan.”

 

Setelah Celene menelpon hpnya, ahkirnya dia menemukannya. Ternyata hpnya terjatuh di selipan sofa. “Thank you.” Ujar Celene dan mengembalikan hpnya ke Khai. “Eh omong-omong kamu beli apa itu di tas kresek?” Tanya Celene menunjuk ke sebuah tas kresek yang terletak di meja kerja di dalam kamar Khai.

 

Khai tak memberi jawaban, ia hanya duduk terdiam di tepi kasurnya.

 

“Hei! Ditanya kok malah diem.” Celene melambaikan tangannya di depan muka Khai untuk menyadarkanan adiknya itu. “Eyyy… Jangan bilang kamu beli itu lagi.” Celene tersadar kenapa Khai terdiam. Wanita itu beranjak untuk melihat apa yang ada di dalam tas kresek itu, dan dugaannya benar. “Ya ampun. Sudah kakak bilang berhenti minum alkohol. Kenapa masih beli hah?!” Tanya Celene kepada adiknya yang masih duduk terdiam dengan kepalanya menunduduk kebawah. Celene sering sekali melihat adiknya minum alkohol, dan itu membuat Celene risau atas kesehatan adiknya itu.

 

“Kak, aku mohon kakak keluar dulu. Aku benar-benar lelah hari ini. Tolong jangan membuat keributan.” Ahkirnya Khai pun berkata.

 

“Oke kakak keluar, tapi ini jangan diminum.” Ucap Celene memegang plastik yang berisi beberapa botol alkohol.

 

“Kak, biarin aku minum satu botol aja. Aku janji ini yang terahkir untuk bulan ini.” Ujar Khai dengan mata memohon.

 

“Ck, oke satu aja. Janji ya.” Celene meletakan satu botol alkohol pada meja dan membawa botol-botol lainnya bersamanya. “Yaudah kakak keluar.” Celene meninggalkan kamar Khai dan ia kembali melanjutkan kegiatannya.

 

Sementara di kamar, Khai masih terdiam. Matanya terlihat kosong, seolah dia barusan kehilangan sesuatu yang berharga. Khai beranjak ke balkon kamarnya dan ia duduk memandang langit malam hari.

 

Huuuffff..

 

Khai mengambil satu helaan nafas panjang dan membuka botol alkoholnya untuk dimunum. Memang benar dia sangat lelah hari ini, tapi dia sudah biasa akan itu karena itu bukan hal yang ia masalahkan. Melainkan ia mempermasalahkan pikiran buruknya yang datang pada waktu acak, dan itu membuat dirinya gelisah. Dia selalu bermurung diri setiap harinya setelah ia pulang kerja. Walaupun dia memiliki perusahaan yang sukses dan kekayaan yang melimpah, ia sangat jarang merasa kebahagiaan. Saat ia merasakan kebahagiaan, ia merasa bersalah atas perasaan itu. Menurut dirinya sendiri, dia tidak berhak bahagia. Khai sungguh benci dirinya.

 

 

 

 

 

 

Report Page